Lex dura sed tamen scripta. Hukum itu bersifat kaku, kejam, dan keras namun begitulah adanya tertulis dalam undang-undang. Hukum itu bersifat memaksa karena memang hukum memerlukannya. Hukum harus mempunyai daya ikat agar masyarakat mematuhinya. Namun, yang jadi permasalahan adalah apakah isi undang-undang dan implementasi dari penegakan hukum sudah benar?? Hal inilah yang menjadi topik tulisan saya.
Salah satu tujuan hukum adalah keadilan. Akan tetapi, hukum tidak identik dengan keadilan. Keadilan bersifat subjektif yang artinya mempunyai nilai kebenaran yang berbeda jika dipandang dari sudut yang berbeda. Adil bagi pihak yang satu belum tentu adil bagi pihak yang lain. Dalam negara hukum Republik Indonesia, hendaklah suatu undang-undang dikatakan adil apabila dipandang dari sudut pandang masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Namun faktanya, pembuatan undang-undang menjadi ajang komersial bagi pembuat undang-undang dan peradilan. Pembuat undang-undang membuat undang-undang yang berorientasi pada kepentingan kelompok. Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-undang Ketenagakerjaan No.25 tahun 1997 yang mulai diberlakukan pada tanggal 01 Oktober 2002 ( berdasarkan Perpu No.3 tahun 2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun 2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti UU No.25 tahun 1997.
Silih bergantinya undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat lepas dari adanya kekuatan tarik-menarik kepentingan antara kepentingan tenaga kerja dengan kepentingan para Pengusaha yang konon kepentingan para Pengusaha tersebut diperjuangkan melalui mereka yang sekarang disebut sebagai “Politisi Busuk”.
Dan pada akhirnya sudah dapat ditebak keberadaan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tersebut dalam praktiknya lebih memihak kepada kalangan Pengusaha. Banyak lagi perundang-undangan kita lainnya yang mengalami nasib senada dengan itu, dan itu semua terjadi karena faktor politis yang bertujuan sempit dari para pembuat undang-undang.
Demikian pula dengan lembaga peradilan. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana hanyalah teori belaka. Keadilan dan kepastian hukum tidak akan diberikan secara gratis apabila di waktu yang sama ada pihak yang menawarnya. Praktik peradilan sesat juga bukanlah hal yang baru di Indonesia. Banyak orang yang tidak bersalah dipaksa mengakui sesuatu yang bukan kesalahannya dan kemudian memenjarakannya. Contohnya dugaan atas kejadian salah tangkap dan salah vonis terhadap 3 (tiga) orang terdakwa yang sebagian telah divonis penjara atas kejahatan pembunuhan terhadap Asrori (versi kebun tebu), menambah daftar panjang dosa peradilan di Indonesia. Namun saat kasus dugaan pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan dan ternyata Ryan mengakui salah satu korbannya adalah Asrori, maka mulailah ada dugaan atas praktik peradilan sesat yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Penegakan hukum sudah lama menjadi permasalahan di negara kita. Akan tetapi, mahasiswa-mahasiswa di bidang hukum hanya diajarkan bagaimana menafsirkan dan melaksanakan undang-undang sehingga mereka hanya berfokus pada undang-undang yang telah ada. Persoalan keadilan menjadi hal penting yang terabaikan. Padahal banyak sekali kekurangan pada undang-undang apabila kita mengkritisinya.
Sebagai contoh, seluruh mahasiswa hukum atau ahli-ahli hukum mempunyai pengetahuan dengan baik bahwa kebenaran materil, kebenaran yang dicapai berdasarkan kesaksian-kesaksian, adalah hal yang ingin dicapai dalam sistem peradilan pidana. Namun, kebanyakan dari mereka gagal memahami bahwa tujuan diperolehnya kebenaran materil sesungguhnya hanya dapat dicapai apabila seluruh proses pidana berjalan dengan di atas rel hukum. Namun pada kenyataannya proses ini sering diabaikan oleh para hakim ketika mulai mengadili suatu perkara. Penangkapan yang tidak sah, penahanan yang sewenang-wenang, dan proses penyitaan yang dilakukan secara melawan hukum telah menjadi urat nadi dari sistem peradilan pidana. Hal ini terutama dialami oleh kelompok masyarakat miskin. Itulah kenapa, meski dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) gagal dalam pelaksanaannya.
Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat, adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata. Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu perjanjian, tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai dengan kata lain proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut. Namun, pengadilan ternyata hanya melihat apakah dari sisi hukum surat-surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang sempurna dan tidak melihat bagaimana proses tersebut terjadi.
Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukan tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas hukum.
Persoalannya adalah bagaimana mengatasi ini semua, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum.
Sementara itu, apabila terdapat undang-undang yang tidak sempurna, dapat diadakan penafsiran epikeia. Menurut Mahfud MD, seperti dalam kasus Prita, yang harus diutamakan adalah nilai kebenaran dan keadilan.
Dalam pernyataan Mahfud MD tersirat suatu indikator yang seharusnya turut dipertimbangkan di samping rumusan kalimat yang tersurat dalam berbagai produk perundangan. Indikator itu disebutnya sebagai nilai kebenaran dan keadilan. Tak sedikit pun ada maksud Ketua Mahkamah Konstitusi untuk mengecilkan peran hukum positif dalam menjunjung nilai kebenaran dan keadilan. Hanya saja, pada waktu menyusun rumusan hukum, bisa terjadi si perumus belum memiliki gambaran serba lengkap tentang kondisi-kondisi yang berhubungan dengan hukum itu. Ditemukan ketidaksempurnaan dan celah di sana-sini yang memungkinkan ketidaksempurnaan penerapan kebenaran dan keadilan di masa depan. Dalam konteks ini, “epikeia” dibutuhkan untuk mengoreksi hukum positif yang belum lengkap dan atau multitafsir, yang oleh banyak pihak dinilai sebagai “pasal karet”.
Kata Yunani “epikeia” dapat didefinisikan sebagai tafsiran atas hukum bukan berdasarkan apa yang tertulis, melainkan maksud dan semangat si perumus yang tersirat di dalam hukum itu. Epikeia dapat menjembatani jurang waktu penerapan hukum pada saat tertentu dengan saat hukum dirumuskan, ketika terdapat banyak kasus dan kondisi yang belum terpikirkan oleh si perumus. Seringkali wawasan si perumus hukum (pada saat tertentu) terlalu sempit dan atau kurang lengkap melihat sejumlah kemungkinan atau kekecualian. Keterbatasan bahasa juga acapkali menghambat keleluasaan untuk menerjemahkan maksud dan hakikat isi pikiran ke dalam bahasa formal. Penerapan epikeia dalam upaya menggapai keadilan di balik rumusan hukum menyaratkan ketulusan hati dari para praktisi hukum untuk mencari kebenaran. Tafsiran tersirat tidak bisa kontradiktif dengan yang tersurat.
Epikeia tidak dimaksudkan untuk mereduksi peranan suatu hukum, kendati di dalam praksisnya tampak seolah demikian demi mencapai kebaikan yang lebih besar. Kebaikan yang lebih besar bisa berbentuk rasa keadilan, kepentingan, atau pun kesejahteraan orang yang lebih banyak. Dalam konteks titik berat kesejahteraan umum, Thomas Aquinas bahkan memandang epikeia sebagai “virtue”. Dalam mengisi lubang ketidaksempurnaan hukum, epikeia bukanlah upaya pelarian diri dari hukum, melainkan tanggapan dan akomodasi atas dan untuk hukum yang lebih agung, yakni keadilan.
Cita-cita dalam menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi (supremasi hukum) hanyalah sebuah ilusi. Hukum hanya ditegakkan bagi mereka yang lemah dan bertoleransi tinggi bagi mereka yang punya kuasa atau kaya. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada.
Lalu pertanyaanya, faktor apa yang menyebabkan sulitnya penegakan hukum di Indonesia? Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu,
1. lemahnya political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan pada saat kampanye.
2. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.
3. Rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
4. Minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum.
5. Tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.
6. Paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
7. Kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis.
Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada. Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur (three elements of legal system yaitu,
1. struktur (structure)
2. substansi (subtance)
3. kultur hukum (legal culture).
Dalam konteks Indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan. Terkait dengan struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap intitusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum. Memang benar apa yang dikemukan oleh Max Weber (1864-1920) bahwa salah satu ciri dari hukum modern adalah hukum yang sangat birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus respon terhadap realitas sosial masyarakat sehingga dapat melayani masyarakat pencari keadilan (justitiabelen) dengan baik. Dalam hal substansi sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang menunjang proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang-undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Ketiga, Untuk budaya hukum (legal culture) perlu dikembangkan prilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas (top down). Artinya, apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum berprilaku taat dan patuh terhadap hukum maka akan menjadi teladan bagi rakyat.
Akhirnya, kita berharap agar pemerintah dapat secepatnya menyelesaikan agenda reformasi hukum yang selama ini tidak berjalan dengan baik. Jika tidak, bersiap-siaplah akan segera tercipta suatu masyarakat seperti yang pernah dilukiskan oleh seorang filosof besar Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) yaitu masyarakat homo homini lupus bellum omnium contra omnes.
Porak-porandannya bangunan hukum di Indonesia saat ini seharusnya memaksa bangsa ini untuk membenahi konstruksi hukumnya. Sejauh ini, perkembangan hukum yang ada di Indonesia berjalan tertatih-tatih dan ringkih. Maklum saja, bangunan hukum warisan kolonial Belanda ini masih menjadi alas pemberlakuan aturan hukum kita. Hal yang wajar jika jiwa hukum warisan penjajah ini memiliki kecenderungan untuk menjajah juga. Padahal hakikat hukum adalah penyedia keadilan bagi siapa saja.
Ditengah arus perubahan era reformasi, muncul sedikit harapan agar sistem hukum kita juga perlu berbenah. Disadari atau tidak konstruksi hukum kita saat ini belum mampu untuk menghadirkan dewi Themis bagi rakyat Indonesia. Merujuk ke konteks Indonesia, banyak pakar hukum kita sangat yakin bahwa hukum yang ada saat ini tidak cocok dengan kultur kita. Artinya, hukum kita perlu pembaharuan!.